Ketika partikel-partikel kalimat tidak lagi bermakna di pendengarnya, barangkali akan bermakna di penglihatannya" -Riani'yaya'Kasih-
Jumat, 17 Februari 2012
4st anniversary with you
Happy anniversary 4st, Darl! Sengaja saya tulis ini untuk kamu dan saya, sebab ini
kesemuannya tentang kamu dan saya. Dan segalanya yang berhubungan dengan
Kita. Meskipun sebenarnya ini bisa saja akan sampai kepada siapa
pun yang ‘merasa’kan hal yang serupa. Mengenai Kamu –seseorang yang saya cintai. Kamu yang saya
cintai dengan sangat, kemarin, hari ini, esok, juga nanti. Insya Allah.
Kamu yang saya pilih karena ke mana pun saya berjalan kembalinya pasti
kepadamu. Kamu yang –untuk sampai kepadamu, saya harus mengabaikan
banyak pilihan. Kamu yang membuat saya nyaris selalu merasa ada, nyaman,
dan aman. Kamu yang membuat saya paham bahwa ‘banyak hal yang tidak
bisa dipaksakan namun layak untuk diberi kesempatan dan kesempatan itu
harus terus dan ditawarkan oleh kedua belah pihak. Yeah, because if you are strong, then you’re the winner.
Dan saya nyaris kehabisan kata untuk medeskripsikan kenapa saya
memilih kamu. Bukan saya, tapi hati saya. Dan hati tahu ke mana harus
berjalan. Hari ini, 18 Agustus 2011 usia hubungan kita memasuki angka 4
dalam hitungan tahun. Mengingat tiap 4 tahun bukanlah waktu yang
singkat untuk mengenal seseorang. Pun dengan kita. Tiap milisekon dalam 4
tahun berhasil membuktikan siapa kamu dan siapa saya. Kita. Menoleh kebelakang kisah panjang yang dijembatani oleh
takaran waktu, hari, bulan, dan tahun. Per satu masalah kamu dan saya
temukan, mulai dari kamu yang selalu merasa diremehkan. Saya yang
terkadang bertahan dengan ego sendiri. Kita yang pernah backstreet dari
kedua orang tua saya. Perlahan waktu mengajarkan kita untuk saling
memahami. Kamu mengajarkan saya bahwa banyak hal yang mungkin di dunia
ini asalkan kita yakin. Dan terbukti sekarang kita sudah lepas dari
lingkaran backstreet. Bahkan kamu membuktikan bahwa kamu layak untuk
saya di hadapan orang tua saya. Sekarang kamu adalah pilihan saya juga
kedua orang tua saya. Namun, masalah tidak pilih keadaan. Kita baik-baik saja.
Namun ada dari mereka yang tidak merasakan hal yang serupa dengan yang
kita rasakan. Semua lantaran profesi kamu sekarang. Polisi. Ada mereka
yang berkata bahwa kamu –untuk menjadi Polisi harus– menggunakan orang
dalam. Padahal demi Tuhan, saya tahu detilnya bagaimana perjuangan kamu
untuk sampai menjadi seorang Polisi. Perjuangan panjang, yang jika saya
sendiri mengalaminnya saya pasti sudah menyerah. Tapi itulah bedanya
saya dan kamu, kamu kuat. Untuk hal ini saya sangat tidak senang pada
mereka yang berkata demikian. Lalu, ada juga mereka yang bertanya,
kenapa memilih Polisi atau sederhananya kenapa mau sama Polisi. Seolah
kata mau itu mengacu pada sesuatu yang salah pada Polisi. Polisi begini, Polisi begitu. And bla. Bla. Bla.
Setiap mereka bertanya demikian, emosi saya seperti balon gas yang
ditiup terlalu lama. Meledak. Walaupun saya tidak bisa menyalahkan
sepenuhnya pada mereka yang beranggapan demikian, karena ada pepatah
yang tepat menggambarkan sebabnya, karena nila setitik rusak susu
sebelanga. Meskipun untuk yang ini, saya dengan penuh percaya diri punya
jawaban, “bahwa jauh sebelum kamu menjadi Polisi saya sudah merasa nyaman dan damai jika bersama kamu, bagi saya itu sangat cukup.” Saya hanya bisa berdoa, semoga saja mereka bisa memandang
sesuatu tidak dengan sebelah mata. Semoga mereka mampu berlaku adil,
yang baik tetap bernilai baik. Tuhan telah menganugrah kita
kebahagian yang mampu menutupi segala kesedihan dan anggapan mereka
mengenai kamu. Kamu berhasil membuktikan, setidak pada saya bahwa, tidak
semua Polisi itu Polisi. Dan tidak hentinya saya katakana
kepada kamu untuk terus melakukan kebaikan, sebab yang baik itu tetap
bernilai baik di mata Tuhan. Masih melihat ke belakang, ketika pendaftaran polisi yang
terakhir –kamu lulus. Ini adalah pendaftaran terakhir setelah seingat
saya sudah lima kali kamu mendaftar dan ini adalah usia terakhir kamu
berkesempatan mendaftar. Kita yang pada saat itu terpaksa break
sebentar. Saya yang mengusulkan demikian, alih-alih takut sifat egois
saya mengganggu konsentrasi kamu pas pendaftaran. Sementara saya tahu
untuk mengikuti tesnya kamu butuh kosentrasi dan fokus (empat kali
mendaftar saya selalu bersama kamu). Lantaran break dan saya harus
mengikuti Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM) di pedalaman Kalbar membuat saya
harus jauh dari kamu. Situasi dan kondisi saat itu agak tidak
bersahabat. No signal dan jauh dari ibu kota. Kamu tahu,
meskipun jauh doa saya selalu lebih dekat denganmu bahkan lebih dekat
dari yang kamu lihat dan rasakan. Doa saya untuk kamu selalu ada di tiap
sujud saya. Hingga atas niat yang baik saya memilih menggunakan
kerudung. Ini juga disebabkan saya berdoa dengan pamrih. Saya relakan
saya berkerudung dan kamu harus lulus –ini doa pamrih saya pada Tuhan. Tes demi tes kamu jalani. Fisik dan psikologis. Samapi tes
terakhir. Harap-harap cemas selalu mendatangi hati dan pikiran saya.
Namun syukur yang teramat selalu saya panjatkan atas berkah dari Tuhan.
And thanks God, for everything. Tiap pengumuman tes, kamu lulus. Tuhan
Maha Mendengar. Mengetahui itu, hatiku seringan kapas. Damai rasanya,
mendengar apa yang kamu citakan kamu raih dengan Ridho Tuhan, kerja
keras sendiri, doa kamu, dan doa orang yang kamu sayang. Kamu lulus dan
berangkat pada 7 Maret 2010. Detik menjelang hari keberangkatan kamu,
saya belum merasa sedih, bahagia terlalu mendominasi. Kita merayakan
kelulusan kamu. Rasanya waktu itu saya tidak ingin berjarak dengan kamu.
Sejengkal saja saya rindu. 7 Maret kamu berangkat menuju Banjarmasin
dan akan pulang 7 bulan berikutnya. Saat itu saya merasa saya tidak
menyukai angka 7. Menyempatkan diri, saya ikut mengantar kepergian kamu
di bandara. Kali ini saya sependapat dengan kalimatmu, bahwa kamu tidak
menyukai segala hal yang berhubungan dengan terminal, bandara, dan
pelabuhan karena selalu ada perpisahan di sana dan belum tentu kita bisa
dipertemukan kembali. Hal ini menjadi dilema bagi saya. Berkali saya
menarik napas dalam-dalam. Saya rasa kamu pun merasakan hal serupa.
Berusaha kuat dan tidak ingin membuat kamu sedih di saat-saat bahagia
kamu, saya selalu tersenyum. Senyum ini adalah tipuan yang paling
berhasil untukmu. Selebihnya tidak pernah ada tipuan di antara kita.
Saya rasa kamu tahu ketika saya berbohong. 7 Maret 2010 adalah
perpisahan paling sepi yang pernah saya alami. Bagaimana tidak,
bertahun lamanya kamu selalu ada dengan saya. Nyaris setiap hari. Tanpa
kamu saya merasa hilang. Meski sebenarnya kamu tidak benar-benar tidak
ada –kamu selalu ada di dalam pikiran saya. Saya seperti kehilangan
separuh energy untuk bertahan. Separuhnya ikut bersama kamu. Separuhnya saya pakai untuk menjalani hari-hari tanpa kamu. Telepon terakhir kamu mengabarkan bahwa, selama dua bulan
kamu tidak dibolehkan memegang handphone. Mendengar hal demikian saya
semakin tidak berdaya. Sifat egois saya mendesak saya untuk marah. Ini
tidak adil. Tapi tidak tahu harus protes dengan siapa. Itu sudah aturan.
Dan kamu benar, saya juga ikut andil atas semua ini, saya menyetujui
kamu untuk menjadi Polisi dan inilah konsekuensinya. Perlahan saya mulai bisa meredamkan egois saya. Yah, dua
bulan adalah waktu yang paling lama. Sangat lama. Enam puluh hari terasa
melipatgandakan diri. Dua puluh empat jam terasa sengaja memanjang
jalannya. Saya merasa bumi bergerak tidak sama seperti dahulunya –tidak
sama dengan saat saya bersama kamu. Terasa melambat. Saya bisa merasakan
bagaimana perasaan tokoh utama wanita di film Dear John. Dua bulan ini
adalah dua bulan yang tersulit yang pernah saya lewati. Sungguh.
Saat-saat demikian kamu adalah alasan saya kenapa saya selalu melihat
handphone dan facebook. Alih-alih ada pesan atau kabar dari kamu. Lama
tidak ada kabar. Hingga pada akhirnya ada nomor hape tak bernama
calling. Segera saya angkat, begitu mendengar suara di seberang sana.
Suara yang sangat dekat dan akrab. Saya menjadi kikuk. Degup jantung
serupa suara lesung padi yang sedang ditumbuk. Mendengar kamu menyapa
halo di seberang, saya bingung mau menjawab apa. Saya merasa kamu dekat
tapi untuk membalasnya saya tidak sanggup. Air mata saya perlahan
mengalir, saya tidak berkhendak menangis. Tapi kenyataan tetap saja
memaksa saya untuk menangis, saya rindu. Sungguh dan sangat. Bagaimana
tidak, kamu bela-belain menelpon dan berbohong sama pengasuhmu. Kamu
bilang menelpon ibumu tapi kamu menelpon saya. You are my everything, Darl. Masuk pada bulan ke tiga. Saya di Pontianak. Kamu masih di
Banjarmasin, masih pendidikan. Dua tempat yang berbeda tapi masih di
pulau yang sama, pulau Kalimatan. Kamu sudah boleh pesiar –izin keluar
setiap akhir pekan. Tiap akhir pekan kamu keluar dan kita bicara banyak
ditelpon. Rindu saya masih membuat saya tidak nyaman. Saya panik.
Bingung. Saya tidak biasa jauh dari kamu. Lalu dengan ide bodoh yang
datangnya entah dari mana, saya mulai melakukan kebodohan yang beralibi.
Anehnya, saya tidak berbohong sebab kamu tidak pernah bisa
dibohongi. Saya bukan orang yang setia. Benar. Saya melakukan kesalahan
yang fatal. Tapi kamu berusaha memaklumi. Kamu begitu tahu saya. Kamu
berusaha meyakinkan saya, bahkan ditelpon kamu berkata tidak apa-apa
saya tidak setia. Kamu tetap setia. Seketika itu saya menangis dan di
ujung telepon pun saya dengar suara kamu memberat. Long distance
mengajarkan kepada saya bahwa ditelpon kamu bisa tahu orang yang kamu
telepon senang atau tidak, tersenyum atau tertawa –bahkan lebih canggih
dari kekuatan via 3G. (sekarang saya telah belajar dari kesalahn, saya
tidak akan mengulanginya lagi, i’m wanna be unfaithful. Bulan-bulan menunggu kembalinya kamu masih terasa berat.
Lama. Sepi. Hambar. Dan ganjil, serupa menghitung 1 + 1 sama dengan 0.
Berkurang, sesaat ketika berkumpul dengan sahabat dan keluarga.
Selebihnya sama saja. Bahkan di tengah keramaian pun saya masih merasa
asing. Meskipun demikian, saya berusaha untuk kuat karena memang saya
tidak punya pilihan lain selain melewatinya meskipun dengan cara
merangkak sekalipun. Will be strong and all is well. Mendekati bulan di mana hari kepulangan kamu sudah bisa
dihitung jari, bumi ini semakin terasa asing dan lama. Aneh. Hingga di
hari pelantikkan kamu saya tidak bisa hadir karena saya harus
menyelesaikan skripsi saya. Kamu tidak keberatan. Meskipun dari suara
kamu saya tahu kamu keberatan. Pada hari pelantikan kamu, di tempat yang
berbeda saya terus memandangi langit, langit yang sama dengan langit
kamu. Saya membayangi kamu berdiri dan berseragam Polisi, bersumpah atas
nama Tuhan kita, akan mengabdikan diri kepada Negara. Saya tersenyum.
Bahagia yang penuh dan menyeluruh. Bahagia yang tidak biasa. Besoknya kamu harus pulang. Nyaris 24 jam saya menunggu,
tidak bisa tidur. Jantung tidak bersahabat. Tangan gemetar. Rindu ini
penuh dan menyeluruh. Dan besok akan meledak. Saya seperti orang gila.
Senyum sendiri. Di cermin saya melihat diri saya terlihat kurus. Otak
saya mulai bekerja, mata saya terus memandangi langit kamar. Saya sibuk
memilih diksi yang tepat untuk dijadikan kalimat pertama yang akan saya
ucapkan kepadamu saat kamu kembali besok. Saya tidak ingin terlihat
kikuk atau aneh. Langit kamar tidak memberikan pilihan. Beralih ke
lantai, pun sama. Dasar bodoh. Malam mulai merangkak pelan. Pelan
sekali. Hingga saya pun tidak ingat kapan saya jatuh dalam tidur. Besoknya, saya bangun lebih awal. Sholat. Dalam sholat saya
tidak khusuk. Memikirkan kalimat apa, bagaimana bahasa tubuh saya, dan
baju apa yang harus saya pakai untuk menyambut kehadiran kamu. Terdengar
konyol, namun apa adanya. Pagi harinya, kamu tiba terlalu terlambat dari jadwal yang seharusnya. Saya ingat, menunggu saat itu sangat mendamaikan. Polda Kalbar hiruk pikuk dengan orang-orang yang sama.
Menunggu. Apa saya bilang, bumi ini bergerak begitu lambat, tidak sama
seperti yang kita mau. Pada akhirnya, kamu datang bersama yang lainnya. Kamu datang
dengan seragam kamu. Mata saya tidak pernah lepas dari kamu, meskipun
kamu berada di antaran puluhan orang yang berseragam sama. Saat itu saya
hanya mau kamu. Kamu terlihat kucel dan gendut (Dasar Endut, orang
pendidikan katanya sakit lalu kurusan, lah kamu kok gendut). Kamu datang dan mencium kening saya. Efeknya, tujuh bulan
yang lalu rasanya saya tidak merasakan apa-apa selain cinta yang teramat
padamu. Sekarang. Sampai sejauh ini, nyaris separuh alam dan isinya
sepakat kamu adalah orang yang tepat bersama saya. Masih suara kamu yang
pertama saya dengar ketika saya bangun dari tidur dan terakhir saya
dengar ketika saya jatuh dalam tidur. Saya masih merasa kamu Kanopi dan
saya ada serta tumbuh di bawahnya. Saya bangga memiliki kamu. Dan kita punya cerita untuk anak dan cucu kita kelak. Alhamdulillah, semua atas izin Sang Maha. Insya Allah.
18 agustus 2011 -riani kasih, anniversary with adham fasya maulana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar