Kamis, 05 April 2012

Karena mereka yang sering terpisahlah yang paling mengerti betapa mendebarkannya sebuah pertemuan. Aih.

Jumat, 17 Februari 2012

Pekat (!)

 
...dan malam ini tidak ada kalimat yang terlahir dari rahim kata. Bahkan kupastikan ini sampai nanti, sampai pada pertemuan kita. Sebab terlalu prematur jika kutulis di sini kekasih.
Seperti halnya malam, hatiku kian memekat lantaran detak jarum waktu. Menunggu kamu dan sang cahaya pagi kembali. Kamu tetap kekasihku, meskipun.

*padamu hati, aku tidak bermaksud memecahkan [sungguh].

Remah-remah kecewa

Terlempar di antara harapan dan kekecewaan
oh, aku tahu sepertinya hidup mengajakku untuk ber-main tebakakan.
dengan senang hati kuulurkan tanganku
sebab kesempatan adalah kado terindah dari Yang Maha Pemurah,
demikian, aku percaya datangnya pasti berkali.
...

Merindu Adham

 
:
matahari telah merekah,
ingin rasanya kurangkai pada sekotak mimpi
yang kau rajut pada kenang-kenang kita
namun masih menyimpan sepotong kekosongan
......
sebab sadar kamu [masih] tidak denganku.
Selamat siang, kamu !

About Adham

You say you’re missed. I know you better than that.  Hello,  I’m still  love you and always miss you. 
-me

4st anniversary with you

Happy anniversary 4st, Darl!
Sengaja saya tulis ini untuk kamu dan saya, sebab ini kesemuannya tentang kamu dan saya. Dan segalanya yang berhubungan dengan Kita. Meskipun sebenarnya ini bisa saja akan sampai kepada siapa pun yang ‘merasa’kan hal yang serupa.
Mengenai Kamu –seseorang yang saya cintai. Kamu yang saya cintai dengan sangat, kemarin, hari ini, esok, juga nanti. Insya Allah. Kamu yang saya pilih karena ke mana pun saya berjalan kembalinya pasti kepadamu. Kamu yang –untuk sampai kepadamu, saya harus mengabaikan banyak pilihan. Kamu yang membuat saya nyaris selalu merasa ada, nyaman, dan aman. Kamu yang membuat saya paham bahwa ‘banyak hal yang tidak bisa dipaksakan namun layak untuk diberi kesempatan dan kesempatan itu harus terus dan ditawarkan oleh kedua belah pihak. Yeah, because if you are strong, then you’re the winner. Dan saya nyaris kehabisan kata untuk medeskripsikan kenapa saya memilih kamu. Bukan saya, tapi hati saya. Dan hati tahu ke mana harus berjalan.
Hari ini, 18 Agustus 2011 usia hubungan kita memasuki angka 4 dalam hitungan tahun. Mengingat tiap 4 tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mengenal seseorang. Pun dengan kita. Tiap milisekon dalam 4 tahun berhasil membuktikan siapa kamu dan siapa saya. Kita.
Menoleh kebelakang kisah panjang yang dijembatani oleh takaran waktu, hari, bulan, dan tahun. Per satu masalah kamu dan saya temukan, mulai dari kamu yang selalu merasa diremehkan. Saya yang terkadang bertahan dengan ego sendiri. Kita yang pernah backstreet dari kedua orang tua saya. Perlahan waktu mengajarkan kita untuk saling memahami. Kamu mengajarkan saya bahwa banyak hal yang mungkin di dunia ini asalkan kita yakin. Dan terbukti sekarang kita sudah lepas dari lingkaran backstreet. Bahkan kamu membuktikan bahwa kamu layak untuk saya di hadapan orang tua saya. Sekarang kamu adalah pilihan saya juga kedua orang tua saya.
Namun, masalah tidak pilih keadaan. Kita baik-baik saja. Namun ada dari mereka yang tidak merasakan hal yang serupa dengan yang kita rasakan. Semua lantaran profesi kamu sekarang. Polisi. Ada mereka yang berkata bahwa kamu –untuk menjadi Polisi harus– menggunakan orang dalam. Padahal demi Tuhan, saya tahu detilnya bagaimana perjuangan kamu untuk sampai menjadi seorang Polisi. Perjuangan panjang, yang jika saya sendiri mengalaminnya saya pasti sudah menyerah. Tapi itulah bedanya saya dan kamu, kamu kuat. Untuk hal ini saya sangat tidak senang pada mereka yang berkata demikian. Lalu, ada juga mereka yang bertanya, kenapa memilih Polisi atau sederhananya kenapa mau sama Polisi. Seolah kata mau itu mengacu pada sesuatu yang salah pada Polisi. Polisi begini, Polisi begitu. And bla. Bla. Bla. Setiap mereka bertanya demikian, emosi saya seperti balon gas yang ditiup terlalu lama. Meledak. Walaupun saya tidak bisa menyalahkan sepenuhnya pada mereka yang beranggapan demikian, karena ada pepatah yang tepat menggambarkan sebabnya, karena nila setitik rusak susu sebelanga. Meskipun untuk yang ini, saya dengan penuh percaya diri punya jawaban, “bahwa jauh sebelum kamu menjadi Polisi saya sudah merasa nyaman dan damai jika bersama kamu, bagi saya itu sangat cukup.
Saya hanya bisa berdoa, semoga saja mereka bisa memandang sesuatu tidak dengan sebelah mata. Semoga mereka mampu berlaku adil, yang baik tetap bernilai baik. Tuhan telah menganugrah kita kebahagian yang mampu menutupi segala kesedihan dan anggapan mereka mengenai kamu. Kamu berhasil membuktikan, setidak pada saya bahwa, tidak semua Polisi itu Polisi. Dan tidak hentinya saya katakana kepada kamu untuk terus melakukan kebaikan, sebab yang baik itu tetap bernilai baik di mata Tuhan.
Masih melihat ke belakang, ketika pendaftaran polisi yang terakhir –kamu lulus. Ini adalah pendaftaran terakhir setelah seingat saya sudah lima kali kamu mendaftar dan ini adalah usia terakhir kamu berkesempatan mendaftar. Kita yang pada saat itu terpaksa break sebentar. Saya yang mengusulkan demikian, alih-alih takut sifat egois saya mengganggu konsentrasi kamu pas pendaftaran. Sementara saya tahu untuk mengikuti tesnya kamu butuh kosentrasi dan fokus (empat kali mendaftar saya selalu bersama kamu). Lantaran break dan saya harus mengikuti Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM) di pedalaman Kalbar membuat saya harus jauh dari kamu. Situasi dan kondisi saat itu agak tidak bersahabat. No signal dan jauh dari ibu kota. Kamu tahu, meskipun jauh doa saya selalu lebih dekat denganmu bahkan lebih dekat dari yang kamu lihat dan rasakan. Doa saya untuk kamu selalu ada di tiap sujud saya. Hingga atas niat yang baik saya memilih menggunakan kerudung. Ini juga disebabkan saya berdoa dengan pamrih. Saya relakan saya berkerudung dan kamu harus lulus –ini doa pamrih saya pada Tuhan.
Tes demi tes kamu jalani. Fisik dan psikologis. Samapi tes terakhir. Harap-harap cemas selalu mendatangi hati dan pikiran saya. Namun syukur yang teramat selalu saya panjatkan atas berkah dari Tuhan. And thanks God, for everything. Tiap pengumuman tes, kamu lulus. Tuhan Maha Mendengar. Mengetahui itu, hatiku seringan kapas. Damai rasanya, mendengar apa yang kamu citakan kamu raih dengan Ridho Tuhan, kerja keras sendiri, doa kamu, dan doa orang yang kamu sayang. Kamu lulus dan berangkat pada 7 Maret 2010. Detik menjelang hari keberangkatan kamu, saya belum merasa sedih, bahagia terlalu mendominasi. Kita merayakan kelulusan kamu. Rasanya waktu itu saya tidak ingin berjarak dengan kamu. Sejengkal saja saya rindu. 7 Maret kamu berangkat menuju Banjarmasin dan akan pulang 7 bulan berikutnya. Saat itu saya merasa saya tidak menyukai angka 7. Menyempatkan diri, saya ikut mengantar kepergian kamu di bandara. Kali ini saya sependapat dengan kalimatmu, bahwa kamu tidak menyukai segala hal yang berhubungan dengan terminal, bandara, dan pelabuhan karena selalu ada perpisahan di sana dan belum tentu kita bisa dipertemukan kembali. Hal ini menjadi dilema bagi saya. Berkali saya menarik napas dalam-dalam. Saya rasa kamu pun merasakan hal serupa. Berusaha kuat dan tidak ingin membuat kamu sedih di saat-saat bahagia kamu, saya selalu tersenyum. Senyum ini adalah tipuan yang paling berhasil untukmu. Selebihnya tidak pernah ada tipuan di antara kita. Saya rasa kamu tahu ketika saya berbohong. 7 Maret 2010 adalah perpisahan paling sepi yang pernah saya alami. Bagaimana tidak, bertahun lamanya kamu selalu ada dengan saya. Nyaris setiap hari. Tanpa kamu saya merasa hilang. Meski sebenarnya kamu tidak benar-benar tidak ada –kamu selalu ada di dalam pikiran saya. Saya seperti kehilangan separuh energy untuk bertahan. Separuhnya ikut bersama kamu. Separuhnya saya pakai untuk menjalani hari-hari tanpa kamu.
Telepon terakhir kamu mengabarkan bahwa, selama dua bulan kamu tidak dibolehkan memegang handphone. Mendengar hal demikian saya semakin tidak berdaya. Sifat egois saya mendesak saya untuk marah. Ini tidak adil. Tapi tidak tahu harus protes dengan siapa. Itu sudah aturan. Dan kamu benar, saya juga ikut andil atas semua ini, saya menyetujui kamu untuk menjadi Polisi dan inilah konsekuensinya.
Perlahan saya mulai bisa meredamkan egois saya. Yah, dua bulan adalah waktu yang paling lama. Sangat lama. Enam puluh hari terasa melipatgandakan diri. Dua puluh empat jam terasa sengaja memanjang jalannya. Saya merasa bumi bergerak tidak sama seperti dahulunya –tidak sama dengan saat saya bersama kamu. Terasa melambat. Saya bisa merasakan bagaimana perasaan tokoh utama wanita di film Dear John. Dua bulan ini adalah dua bulan yang tersulit yang pernah saya lewati. Sungguh. Saat-saat demikian kamu adalah alasan saya kenapa saya selalu melihat handphone dan facebook. Alih-alih ada pesan atau kabar dari kamu. Lama tidak ada kabar. Hingga pada akhirnya ada nomor hape tak bernama calling. Segera saya angkat, begitu mendengar suara di seberang sana. Suara yang sangat dekat dan akrab. Saya menjadi kikuk. Degup jantung serupa suara lesung padi yang sedang ditumbuk. Mendengar kamu menyapa halo di seberang, saya bingung mau menjawab apa. Saya merasa kamu dekat tapi untuk membalasnya saya tidak sanggup. Air mata saya perlahan mengalir, saya tidak berkhendak menangis. Tapi kenyataan tetap saja memaksa saya untuk menangis, saya rindu. Sungguh dan sangat. Bagaimana tidak, kamu bela-belain menelpon dan berbohong sama pengasuhmu. Kamu bilang menelpon ibumu tapi kamu menelpon saya. You are my everything, Darl.
Masuk pada bulan ke tiga. Saya di Pontianak. Kamu masih di Banjarmasin, masih pendidikan. Dua tempat yang berbeda tapi masih di pulau yang sama, pulau Kalimatan. Kamu sudah boleh pesiar –izin keluar setiap akhir pekan. Tiap akhir pekan kamu keluar dan kita bicara banyak ditelpon. Rindu saya masih membuat saya tidak nyaman. Saya panik. Bingung. Saya tidak biasa jauh dari kamu. Lalu dengan ide bodoh yang datangnya entah dari mana, saya mulai melakukan kebodohan yang beralibi.
Anehnya, saya tidak berbohong sebab kamu tidak pernah bisa dibohongi. Saya bukan orang yang setia. Benar. Saya melakukan kesalahan yang fatal. Tapi kamu berusaha memaklumi. Kamu begitu tahu saya. Kamu berusaha meyakinkan saya, bahkan ditelpon kamu berkata tidak apa-apa saya tidak setia. Kamu tetap setia. Seketika itu saya menangis dan di ujung telepon pun saya dengar suara kamu memberat. Long distance mengajarkan kepada saya bahwa ditelpon kamu bisa tahu orang yang kamu telepon senang atau tidak, tersenyum atau tertawa –bahkan lebih canggih dari kekuatan via 3G. (sekarang saya telah belajar dari kesalahn, saya tidak akan mengulanginya lagi, i’m wanna be unfaithful.
Bulan-bulan menunggu kembalinya kamu masih terasa berat. Lama. Sepi. Hambar. Dan ganjil, serupa menghitung 1 + 1 sama dengan 0. Berkurang, sesaat ketika berkumpul dengan sahabat dan keluarga. Selebihnya sama saja. Bahkan di tengah keramaian pun saya masih merasa asing. Meskipun demikian, saya berusaha untuk kuat karena memang saya tidak punya pilihan lain selain melewatinya meskipun dengan cara merangkak sekalipun. Will be strong and all is well.
Mendekati bulan di mana hari kepulangan kamu sudah bisa dihitung jari, bumi ini semakin terasa asing dan lama. Aneh. Hingga di hari pelantikkan kamu saya tidak bisa hadir karena saya harus menyelesaikan skripsi saya. Kamu tidak keberatan. Meskipun dari suara kamu saya tahu kamu keberatan. Pada hari pelantikan kamu, di tempat yang berbeda saya terus memandangi langit, langit yang sama dengan langit kamu. Saya membayangi kamu berdiri dan berseragam Polisi, bersumpah atas nama Tuhan kita, akan mengabdikan diri kepada Negara. Saya tersenyum. Bahagia yang penuh dan menyeluruh. Bahagia yang tidak biasa.
Besoknya kamu harus pulang. Nyaris 24 jam saya menunggu, tidak bisa tidur. Jantung tidak bersahabat. Tangan gemetar. Rindu ini penuh dan menyeluruh. Dan besok akan meledak. Saya seperti orang gila. Senyum sendiri. Di cermin saya melihat diri saya terlihat kurus. Otak saya mulai bekerja, mata saya terus memandangi langit kamar. Saya sibuk memilih diksi yang tepat untuk dijadikan kalimat pertama yang akan saya ucapkan kepadamu saat kamu kembali besok. Saya tidak ingin terlihat kikuk atau aneh. Langit kamar tidak memberikan pilihan. Beralih ke lantai, pun sama. Dasar bodoh. Malam mulai merangkak pelan. Pelan sekali. Hingga saya pun tidak ingat kapan saya jatuh dalam tidur.
Besoknya, saya bangun lebih awal. Sholat. Dalam sholat saya tidak khusuk. Memikirkan kalimat apa, bagaimana bahasa tubuh saya, dan baju apa yang harus saya pakai untuk menyambut kehadiran kamu. Terdengar konyol, namun apa adanya.
Pagi harinya, kamu tiba terlalu terlambat dari jadwal yang seharusnya. Saya ingat, menunggu saat itu sangat mendamaikan.
Polda Kalbar hiruk pikuk dengan orang-orang yang sama. Menunggu. Apa saya bilang, bumi ini bergerak begitu lambat, tidak sama seperti yang kita mau.
Pada akhirnya, kamu datang bersama yang lainnya. Kamu datang dengan seragam kamu. Mata saya tidak pernah lepas dari kamu, meskipun kamu berada di antaran puluhan orang yang berseragam sama. Saat itu saya hanya mau kamu. Kamu terlihat kucel dan gendut (Dasar Endut, orang pendidikan katanya sakit lalu kurusan, lah kamu kok gendut).
Kamu datang dan mencium kening saya. Efeknya, tujuh bulan yang lalu rasanya saya tidak merasakan apa-apa selain cinta yang teramat padamu.
Sekarang. Sampai sejauh ini, nyaris separuh alam dan isinya sepakat kamu adalah orang yang tepat bersama saya. Masih suara kamu yang pertama saya dengar ketika saya bangun dari tidur dan terakhir saya dengar ketika saya jatuh dalam tidur. Saya masih merasa kamu Kanopi dan saya ada serta tumbuh di bawahnya.
Saya bangga memiliki kamu. Dan kita punya cerita untuk anak dan cucu kita kelak.
Alhamdulillah, semua atas izin Sang Maha. Insya Allah.


18 agustus 2011 -riani kasih, anniversary with adham fasya maulana

Sesuatu yang kita sebut 'saling'



“Cewek Pupu paling sabar!” *Adham Fasya Maulana said.

Kamu tahu, kata-kata kamu ini selalu mendamaikan ketika aku dalam posisi emosi. Mampu meredam marah. Mampu menghapus gelisah. Ampuh untuk menyabarkan. Serupa sepoi angin. Serupa nyala lilin di antar gelap. Serupa serbuk bintang pada permadani malam.
Dan aku percaya kekuatan bahasa itu mampu mengubah segalanya. Apalagi bahasa itu hasil fermentasi sistem stimulus respon kamu. Sebab kamu tidak banyak berujar namun mampu menjadi penyemangat. Thanks a lot, Darl.

Kamu + saya = Kita

Kalau kamu sudah merasa bosan, kamu ingat ya waktu kita sama-sama naksir dulu. :)
-adhamfasyamaulana, Quotes-

Rabu, 15 Februari 2012

"KARANGAN" RIANI KASIH


Apapun- semua. Diproduksi oleh komponen 'otak yang terkontaminasi oleh jamur-jamur'. Jamur-jamur yang memfermentasikan setiap partikel kata yang membentuk kalimat, tema, tokoh, setting, alur, sudut pandang, kemudian melahirkan rasa damai yang tak memuai, kelam yang kian kemayam, derak-derak yang menyesak, hingar yang mem-bingar, terang yang menggerayang tak kunjung pulang.

"Semua 'karangan' untuk jamur-jamur yang beranak-pinak dalam kotak benak."